Monday, June 20, 2011

Banyak Anak Banyak Rejeki (Yeah Right!)

Kemarin hari minggu, saat saya hendak berangkat Jakarta naik mobil, kebetulan sedang ada car free day sehingga kami harus memutar jalan melewati jalan Merdeka. Kebetulan pula saya yang menyetir karena satu-satunya orang yang diharapkan untuk menyetir ternyata tumbang kena flu berat, alhasil dia hanya bisa tertidur dan jok belakang dan saya yang berada di balik kemudi.

Terkena lampu merah di perempatan jalan merdeka, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Anak kecil penjual ulekan, orang sunda biasa menyebutnya coet.

Bukan sekali dua kali saya melihat mereka. Bahkan pernah saya sekali jatuh hati dan akhirnya membeli ulekan dengan harga di atas harga pasaran tentunya. Kalau tidak salah sekitar Rp. 35.000,- kalau kamu pernah berjalan-jalan di kota Bandung (sekitar area Merdeka) tentu pernah melihat mereka. Anak kecil kurus, hitam dan berjalan tertatih-tatih membawa 3 tumpuk ulekan di bahu kanan dan kiri.

Yang seru, pagi itu saat saya melihat mereka saat mereka sedang bersiap-siap untuk berjualan. Lebih seru lagi, ibu bapak mereka ada pula disana, mengacak-ngacak rambut mereka, lalu mengganti baju mereka dengan baju lusuh. Bukan untuk menggeneralisir agama tertentu ya, tapi ibu-ibu mereka memakai jilbab. Anak-anak kecil itu dengan polosnya menurut saja 'didandani' oleh ibu bapak mereka. Alangkah lucunya?

Entah rasanya saya ingin tertawa atau miris. Tertawa karena saya pernah 'tertipu' oleh penampilan dan wajah memelas mereka sekaligus miris karena membayangkan, "Bo.. kok ibunya gila ya?"

Sadis ga sih saya kalau saya bilang, "Orang miskin dilarang beranak."
Sadis ya?
Tapi kok rasanya dunia akan menjadi lebih baik tanpa anak-anak kecil yang dipaksa mencari uang karena persoalan kemiskinan. Jujur saja, saya (yang notabene sangat menyukai anak kecil) pernah lho sekali berpikir, "Nanti kalau sudah menikah mau punya anak ga yah? Takut ga punya uang untuk membiayai mereka masuk sekolah yang bagus. Takut tidak bisa membahagiakan mereka dengan harta. Walaupun ya saya tahu kok, bukan cuma persoalan harta, tapi terus terang harta itu penting lho."

Orang yang pertama kali menciptakan istilah "banyak anak banyak rejeki" itu tentunya sangat tolol sekaligus kaya raya. Saya tidak pernah mengerti apa hubungan antara jumlah nominal anak dengan jumlah nominal rejeki. Walaupun saya percaya istilah "anak membawa rejekinya sendiri". Ya tentu, lalu kalau rejekinya kecil? Apa yang harus saya lakukan, misal saya sebagai ibunya? Apa harus saya bikin anak lagi, mungkin saja anak yang lain rejekinya ternyata banyak, lalu bisa saya share dengan kakaknya yang rejekinya kecil. How pathetic..

Kalau saja saya Tuhan, sudah pasti saya bikin mandul orang-orang miskin jahat yang menyuruh anak-anak mereka memanggul ulekan.

Goblog. Pisan.

...

1 comment:

  1. gua pernah nanya k salah satu anak yang manggul cobek itu, dia jualan deket ouval kalo ga salah, "mau sekolah apa ga? tar teteh bantu biayanya". dan apa respon dia? dia bilang gausah, karena dia bilang, kata emaknya begitu aja bisa makan.

    yang bikin kesel bukan cuma karena mereka memanfaatkan anak2 mereka untuk memancing simpati dan belas kasih orang-orang, tapi "warisan" pikiran dan mental ala fatalis... "lo dapet duit ga usah sekolah, cukup jadi pengemis". pantes aja pernah baca artikel yang bilang satu keluarga mulai dari kakek ampe cucu jadi pengemis. bahkan anggota keluarga paling kecil juga diberdayakan. miris kalo inget...

    ReplyDelete