Saturday, May 26, 2012

catatan random nomor tujuh puluh lima


Kalau tidak salah, Dewi Lestari pernah menulis begini; Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman daripada rahim ibu. Saya setuju.

Ini Ibu saya semasa muda, paling kanan yang menyilang kaki.
Ternyata dari dulu betisnya memang besar.

Ibu itu mahkluk yang pelik. Saya tidak pernah tahu seorang ibu itu dibekali super power kasat mata semacam apa, yang jelas di mata saya, sosok ibu itu lebih perkasa dari megaloman atau bintang wcw hulk hogan. Kekuatannya semacam gabungan pendekar silat, pesulap handal sekaligus permaisuri raja yang santun. Lemah tapi kuat, aneh tapi nyata. 

Saya tidak pernah tahu bagaimana dia bisa tetap tenang dan tertawa menghadapi anak-anaknya yang kerap mengecewakan dia. Saya belum paham apa yang terjadi selama sembilan bulan janin tersimpan di perutnya, dia bisa seperti baru saja keluar dari sebuah padepokan silat ternama, tiba-tiba bertransformasi menjadi sedemikian perkasa. Saya tidak pernah tahu bagaimana dia bisa lebih lihai dari mata-mata CIA. Entah instingnya yang tajam atau nalurinya yang kuat, saya tidak pernah bisa berkutik di hadapannya. Tanpa harus melemparkan tatapan spion, tanpa harus menekuk muka judes, saya selalu kehabisan kata-kata dibuatnya. Salting. 

 "Udah sholat kamu?"
"Udah."
"Sholat dimana?"
"Heh? hehe.. belom ketang."
...

Padahal saya sudah menyusun skenario yang demikian ciamik. Cukup jawab, "Sudah, Ma, tadi di kamar." tetap saja gagal. Sial. Padahal dia bertanya dengan kalem saja. Begitu saja, cukup dua kata. Mungkin dia pakai jurus ilmu pedang malaikat menundukkan siluman atau  jurus ular naga menggelung bukit, entahlah.

Ini cerita tentang ibu saya, mahluk beranak tiga yang bekerja jadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Selama hidup saya, dia selalu marah. Dia selalu cerewet, ada aja yang diomonginnya. Bangun tidur belum cuci muka, belum gosok gigi, dia sudah bisa berkicau begitu liat saya makan nasi sambil tidur-tiduran. Pamali, katanya. Seriusan deh, lebih nikmat mendengarkan kicauan burung daripada kicauan dia.

Nada suaranya selalu naik dua oktaf setiap melihat asbak saya yang penuh dengan puntung rokok. "Merokok terus, ya!" Keluar malam hari belum lengkap tanpa telepon tepat pukul sepuluh malam. "Dimana? Mau pulang jam berapa? Sama siapa? " selalu begitu, persis petugas sensus. Meski sedang sibuk bekerja, dia selalu bisa menyisihkan waktu lima menit setiap saya pulang terlalu malam untuk mengomeli saya. Omelannya pun selalu tepat guna, tak butuh editor kata-kata; singkat, padat, nyelekit sempurna.

Ada pencipta lagu yang menulis, "kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa" ternyata itu benar adanya. Sampai saya setua ini pun, dia seperti tetap bersiaga di sebelah saya, padahal sudah seharusnya kami bertukar peran sejak lama. Dia selalu pingin tau masalah saya dan si pacar. Kalau saya pulang dengan muka masam, dia langsung mengikuti saya ke kamar, "Abis berantem ya?" katanya. Tebakan dia selalu tepat, tapi saya tidak bernafsu untuk ngobrol panjang lebar. Dia adalah tipe ibu yang selalu pingin dekat dengan anak-anaknya. Mencoba untuk memahami berbagai masalah dari sudut pandang saya, sekaligus menjadi seorang ibu yang bijaksana, dan saya tahu itu sulit. Setiap saya sedih dan putus cinta alah haha, cukup kedua tangannya yang menepuk-nepuk halus punggung saya. "Boleh sedih, tapi jangan lama-lama ya." begitu pesannya.

Ibu marah itu petaka, lebih berbahaya dari perampok bersenjata. Pernah dengar berita ibu-ibu mengamuk menghajar FPI di Medan? Haha. Seperti saya bilang, ibu-ibu itu punya kekuatan super. Sosok ibu itu pelik. Ya, saya sebut itu dua kali. Dia rela jadi tokoh antagonis dalam keluarga, yang melarang ini dan itu, mengomel ini dan itu. Dia rela jadi public enemy, si musuh bersama, menjadi target utama yang harus dilumpuhkan ketika aliansi anak-anak kurang ajar mau berbuat kenakalan. Walaupun kepala saya pusing setiap kali dia mengeluarkan jurus kepo berdarah dingin, dia seperti tangan kanan Tuhan yang selalu diberi suntikan kekuatan, dikirim untuk menjaga saya supaya tetap waras.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya beri dia lima bintang, untuk rela berkorban menghidupi saya, untuk tak ada habisnya mengomeli saya, dan dengan watak saya yang bengal ini, dia tidak pernah sekalipun mengusir saya dari rumah. Untuk semua kegalakannya, kecerewetannya, dan prilaku keponya yang terkadang menyebalkan, siapapun yang berani ganggu dia, harus berhadapan dengan saya.

Pernah ada orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya, kata Pak Pramoedya AT sih begitu.

...

2 comments:

  1. ahuhu... menyentuh... jadi inget jurus ampuh emak gua kalo gua lagi ngedebat peraturan dia "wes pokok'e ta' enteni kon nek wes nduwe anak. mengko yo ngerti dewe. ndelo'en" artinya "gua pengen liat kalo ntar lo dah punya anak, ngerti pasti perasaan gua. liat ajeh". hahaha.

    I often remind myself that while i'm busy growing up, she and my father also grow older. and sometimes their keypohness is just the way they're showing how much they love and miss me. *aeh, jadi berasa ada back sound biola mengharukan di belakang ghuwah :))

    ReplyDelete
  2. hahaha gw pun ti kadang suka membayangkan, kalau nanti gw punya anak seperti gw, i might wanna kill her with my own hand. Hahaa..

    ReplyDelete