Wednesday, September 26, 2012

mama, mari bernostalgia

Sebulan yang lalu teman saya melahirkan seorang bayi. Perempuan. Mungil. Cantik. Sewaktu mengunjunginya di rumah sakit, perut dan vaginanya masih nyeri sehabis dibombardir, didesak paksa kepala manusia yang ingin menghirup udara. Tapi wajahnya bersinar, sepertinya bahagia betul dia. Apa kau dulu juga begitu, Ma? Di kedua lingkar matanya terlihat gradasi hitam yang memudar, entah lelah atau insomnia, atau mungkin juga euforia, memikirkan nama yang paling cantik untuk si calon bayi. Apa kau juga begitu, Ma? Padahal belasan tahun berlalu si anak akan berkata, 'Namaku kok jelek banget sih, Ma, Galuh, ga ada nama yang lain apa?" 

Mungkin tak banyak yang tahu, melahirkan dan mengurus seorang anak tidak bisa digambarkan oleh warna pastel dan senyuman manis seperti di iklan popok bayi. Apa mereka tahu perihal darah yang mengalir di selangkanganmu itu, Ma? Mungkin bagian itu memang terlalu horror untuk dijadikan materi iklan di televisi. Seprai satin halus dan selimut beludru ungu itu sungguh tidak mampu menceritakan teriakan perihmu ketika mereka menjahit kembali vagina yang dikoyak dengan seenaknya. 

Seringkali kita terbuai, tertipu dengan jargon kelembutan kasih seorang ibu yang dikemas dengan suara dentingan piano klasik yang halus dan lembut dalam sebuah iklan susu. Padahal kalau dipikir-pikir, perjuanganmu lebih tepat diiringi dengan soundtrack musik rock progressive atau bahkan death metal. Coba kutanya, apa ada yang lebih hardcore dari cinta seorang ibu kepada anaknya? Lalu semua orang akan mengomentari betapa lucunya anakmu, betapa sehatnya. Mereka semua akan terpikat pada harumnya wangi bedak bayi dan sepasang mata bulat jernih itu. Tak banyak yang peduli pada huru-hara yang pernah terjadi di ruang panggulmu. 

Lendir  lalu darah. Pembuluh darahmu membuncah, syarafmu mengejang, anusmu menganga, air matamu membanjir keluar tanpa disengaja, kontraksi itu mama, yang membuat perutmu sakit setengah mati, bagaimana caranya kau bertahan, Ma? Beranjak dewasa, masih juga kau terima caci-maki dari si segumpal daging yang dulu kau beri plasenta. Setelah saya perhatikan, prosesi kelahiran ternyata jauh lebih rumit dan menyakitkan daripada prosesi kematian. Maka, meski ternyata kehidupan seringkali mengecewakan, betapapun mengesalkan, betapapun meragukan, tersenyumlah, berbahagialah, bertahanlah. Ya, setidaknya untuk dia -- perempuan yang vaginanya pernah kau siksa. 


Untuk Sharifa Ainie, selamat jadi Ibu. 

...

2 comments: