Jakarta hujan deras. Minggu malam, hampir pukul delapan. Suami temanku bolak-balik mengajakku mengobrol dari luar kamar. Dia sedang resah. Istrinya -- yang juga sahabatku -- sedang dalam perjalanan ke Jakarta dengan pesawat yang membawanya dari Bali.
"Dia sudah boarding tadi sekitar jam setengah 7," katanya.
"Lalu belum ada kabar? Dia sudah landing apa belum?"
"Teleponnya ga aktif.."
Wajahnya nampak lesu.
"Gw khawatir nih.." tambahnya lagi.
Lalu kilat menyambar sangat keras sehingga kami berdua terkejut.
"Astagfirullah.." dia merapal. Aku juga.
Kami saling berpandangan.
"Tenanglah, ujannya paling ujan lokal ini mah. Kemarin gw juga gitu. Di bandara ujan deras, eh.. sampai sini kering kerontang," tuturku mencoba menenangkan.
Tak berhasil nampaknya. Dia masih bulak-balik dengan wajah resah. Aku kembali menekuni buku yang sedang kubaca. Lalu tak lama terdengar suara air dari keran, sedikit suara gaduh lalu hening. Sekitar 10 menit kemudian aku keluar. Kulirik ruangan sebelah. Suami sahabatku itu sedang duduk bersila diatas sajadah. Wajahnya menunduk. Dia sedang berdoa. Menunggu kabar dari istrinya yang tak jua tiba. Aku tersenyum, sedikit iri, tapi juga senang.
Someone is praying for you, isn't that the sweetest thing?
...
Sunday, April 12, 2015
Friday, April 10, 2015
epik
Dibalik rumitnya komposisi antarmuka dan pola komunikasi, aku percaya, mata yang mendengar tanpa distraksi adalah jenis interaksi yang dinginkan hampir semua penduduk bumi.
Hari yang sangat panas di Pelalawan. Anak-anak ini menyambut kedatangan kami dengan malu-malu namun penuh rasa ingin tahu. Sebagian dari mereka dengan berani bercengkerama dengan kami, sebagian lagi hanya menatap dari jauh. Dengan dialek Melayu yang kental, seorang anak menyapaku. "Kakak darimana?" katanya. Matanya menyelidik ke arah kameraku. Sebagian dari mereka memakai kaus kaki, sebagaian lagi tidak, dengan kaki telanjang mereka berlari-lari kesana-kemari.
"Gubrakk!"
Seorang anak terjatuh. Lututnya berdarah. Teman-temannya tertawa, sementara ia meringis. Ketika kameraku mengarah ke arahnya, sontak ia menyunggingkan senyumnya. Aku tertawa. Ketika waktu istirahat tiba, mereka bergerombol, berkumpul, saling menjahili -- sembari jajan mie yang dimakan sambil dibagi-bagi. Sebagian duduk di kursi satu-satu, ada yang mengaji, ada yang sibuk makan kuaci. Anak-anak ini -- kulitnya menghitam diterkam sengat cahaya, rambut mereka kemerahan, dan sudah bisa kutebak kalau dengkul mereka satu pun tak ada yang mulus, seragam mereka lusuh, sebagian koyak, tubuh mereka bau matahari. Tapi kau tahu satu hal yang sangat kusenangi dari tempat ini?
Tak ada satu pun yang main iPad disini.
...
Subscribe to:
Posts (Atom)