Sunday, November 14, 2010

Yang Penting Halal

Dari sekian banyak produk budaya made in Indonesia ada satu yang paling rancu menurut saya, yakni ; acara pernikahan.

Pernikahan dalam arti sebenarnya yang hanya bermodal penghulu, saksi dan wali + mahar (menurut Islam), harus dibungkus puluhan juta hingga ratusan juta rupiah karena yang tak wajib menjadi lebih mahal daripada yang wajib. Pesta meriah, makanan mewah hingga pelaminan megah adalah salah satu atribut pernikahan-pernikahan di Indonesia. Dalam agama Kristen setahu saya pun hanya cukup bermodal pastor/pendeta lalu petugas dari catatan sipil.

Pernikahan yang nilainya sangat sakral karena ada dua orang yang begitu berani mengucap janji sampai mati, menjadi ajang silahturahmi dan basa-basi. Ini tidak masalah untuk orang-orang yang punya uang berlebih dan memang ikhlas berniat mencari pahala tanpa mengharap angpaw dengan memberi makan gratis ratusan hingga ribuan orang. Tapi tentunya ini bisa membuat orang-orang yang tidak punya uang lebih tidak bisa tidur dan bekerja lebih giat sampai badan rontok demi mencari modal untuk biaya pernikahan.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu teman lama semasa kuliah. Ngobrol kesana-kesitu-kemari akhirnya sampai juga pada pembicaraan, "Lo kapan nikah sama si X?". FYI teman saya ini sudah hampir 8 tahun berpacaran dan sampai kini masih awet rajet. Jawaban dari teman saya ini cukup membuat saya tertegun.

"Yah rencana sih udah ada dari dua tahun lalu, tapi uangnya belum ada"

"Uang buat apa maksudnya?",

"Buat pestanya.."

Saya pikir uang belum cukup itu untuk modal, mis ; beli/ngontrak rumah, biaya rumah tangga dll. Alangkah kasihannya, niat yang begitu berani dan mulia harus tertahan gara-gara 'uang belum cukup'. Entah siapa pula yang menstandardisasi pernikahan di Indonesia harus disertai resepsi yang menguras habis tabungan calon pengantin atau kocek orang tua mereka.

Sikap seperti ini tertanam dalam benak banyak orang dan akhirnya berubah dari budaya menjadi aturan baku tak tertulis. Orang-orang yang merasa kecil hati ketika mereka tidak diundang dalam acara pernikahan, padahal mungkin saja yang punya acara kelupaan atau memang tidak mengundang karena keterbatasan dana. Saya rasa wajar saja. Tidak semua orang punya uang berlebih. Saya sendiri jujur saja tidak merasa keberatan kalau tidak diundang. Selain karena saya malas memakai sepatu hak tinggi, saya tidak terlalu suka makan sambil berdiri, belum ditambah macet keluar rumah di hari sabtu/minggu dan sulit sekali mencari parkir. :p

Bisa jadi hal ini juga terjadi karena pengaruh cerita/novel/film barat yang mengkonstruksikan pernikahan layaknya putri dan pangeran dalam dongeng. Akibatnya gadis-gadis remaja pun banyak yang memimpikan dan merancang pernikahan seakan dia adalah Putri Diana dan Pangeran Charles. Padahal sesunggungnya, di Barat pun banyak orang yang sangat selektif mengundang calon undangan pernikahan mereka. Dengan alasan, mereka menganggap pernikahan adalah hal yang sangat pribadi dan mereka tidak mau acara pernikahan mereka menjadi ajang basa-basi. Cukup hanya keluarga dan teman terdekat saja karena mereka ingin merasa senyaman mungkin di hari bahagia mereka.

Saya rasa kita seharusnya mewajarkan saja apabila ada orang yang menikah dan tidak mengadakan pesta. Cukup mengirim kue/makanan disertai pemberitahuan bahwa si X dan si Y telah menikah pada hari XYZ. Selain tidak perlu keluar rumah, kita pun senang karena dikirimi makanan. :p dan kalo mau menyinggung 'produk budaya' lainnya, yakni ; membeli doa, bukankah si penerima kue juga akan lebih senang mendoakan si pengantin tanpa harus bermacet-macet ria? Haha..

Maka itu saya seringkali berpikir apa tujuan sebenarnya resepsi mewah dan meriah ? Untuk ajang silahturahmi atau untuk menaikan gengsi? Akan menjadi sangat sulit kalau ternyata jawabannya hanya gengsi. Karena yang saya tahu, gengsi adalah hal termahal dan paling merepotkan di dunia ini. Hehe..

Bukan saya tidak setuju dengan resepsi besar-besaran, hanya saja untuk orang-orang yang tidak memiliki dana berlebih tak perlu juga memaksakan resepsi megah. Seperti pak Ustad bilang, "Tak perlu resepsi, yang penting SAH".

Yaa apa mau dikata, kadang budaya memang lebih kuat daripada agama ya? :)

No comments:

Post a Comment