.Seorang teman memposting sebuah tweet, katanya "Happiness, where are you?" dan saya mengerutkan kening membacanya.
Setiap hari, jutaan manusia bekerja, berkomunikasi, berinteraksi, mengeksplor diri, melihat, mendengar, menangis, tertawa sembari mencari satu hal yang diterjemahkan dalam kata; rasa bahagia. Seakan bahagia adalah sebuah partikel tak bergerak yang letaknya tersembunyi sehingga perlu dicari kesana-kemari. Padahal, saya percaya sepenuhnya, bahagia adalah selalu kata kerja, tak pernah berwujud kata benda yang mati.
Seorang teman pernah berkata, "Saya pingin mati bahagia."
"Maksudmu, kau pingin mayatmu membeku dengan mulut tersenyum lebar dan gigimu menyembul keluar? Bukankah itu menakutkan?", kata saya.
Dia bilang saya gila. Padahal yang gila itu adalah Ahmad Dani yang bilang dalam lagunya, hadapi semua dengan senyuman. Kecuali dia kejepit syarafnya, tentu saja manusia tidak bisa terus-menerus tersenyum.
Lalu, apa sebenarnya definisi bahagia? Apakah sebatas perasaan senang dan puas?
Gandhi pernah bilang
, happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony. Aristoteles mengatakan yang dimaksud kebahagiaan adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang sesuai dengan kehendaknya (bersifat relatif). Sedangkan Imam Al Ghazali mengatakan kebahagiaan itu adalah akar kata
sa'ad atau
su'ud yang berarti keberuntungan, mujur, dan tidak sial.
Sa`adah berarti kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia dalam hidupnya.
Atau lihatlah hasil pemikiran Bentham dan J.S. Mill, mereka menasbihkan paham utilitarianisme sebagai the greatest theory of happiness, paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna bagi orang lain, berfaedah dan menguntungkan. Lalu, seperti mengamini pernyataan J.S. Mill, the phenomenal Alexander Supertramp pun akhirnya menyimpulkan, happiness only real when shared.
Saya pernah merasakannya. Di Jatinangor, sendirian saja, kampus sangat sepi lalu pembimbing utama thesis saya menelpon, katanya "Kamu sudah bisa daftar sidang, thesis kamu sudah saya baca dan semua oke." Rasanya seperti memakan pelangi. Walaupun saya belum pernah makan pelangi, terus terang saya sudah tidak tahu lagi bagaimana menerjemahkan perasaan sangat bahagia ke dalam kata-kata saat itu. Ingin sekali salto, tapi takut keseleo. Setelah itu, saya tersenyum sendirian. Rasanya ingin memeluk seseorang atau berbicara kepada seseorang, tapi saya sendirian, and its sucks!
Seperti Aristoteles bilang, bahagia itu relatif, dan adalah benar, bahagia itu bersyarat. Bahagia bisa datang dari berbagai ide, berbagai konsep, even in our darkest despair, bahagia, saya pikir, selalu bisa mencari celah untuk datang selama syarat itu terpenuhi. Bahagia datang ketika kita bisa membaginya karena satu manusia ternyata tidak akan mampu menampung semua beban kebahagiaan itu sendiri.
Happiness is a state of mind.
Saya menerjemahkan quote yang sangat terkenal itu menjadi; kebahagiaan adalah permainan pikiran. Manusia tersusun dari beberapa elemen yang mengimbangi berbagai kapasitas atau fungsi lainnya. Kemampuan untuk berpikir merupakan kapasitas dan fungsi yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Akal pikiran manusia yang sangat complicated ini memang terkadang menyebalkan dan bagai penipu ulung, dia selalu bisa memanipulasi, melahirkan ilusi hormonal yang akhirnya mengakibatkan kesalahan persepsi perasaan. 9gagers akan menyebutnya, the scumbag brain. Hihi.
Plato memandang akal sebagai sarana untuk menangkap pengetahuan mengenai segala sesuatu idea dalam realitas, seperti ide kebaikan, ide kebahagiaan dan ide keadilan. Ide kebaikan tertinggi manusia adalah kebahagiaan sejati. Ini adalah salah satu contoh konsep lain, kebahagiaan bisa datang dari kebaikan. Menjadi orang baik? Apakah betul bisa mendatangkan kebahagiaan? Memberikan sesuatu, membuat orang lain tersenyum, menepati janji, bersikap sopan. Yah.. contoh praktis yang sederhana.
Saya sendiri akhirnya sampai pada kesimpulan, oh fuck theories! Ok, baiklah itu bohong, saya tidak bisa menyimpulkan tanpa pertimbangan teori. Menurut saya, kebahagiaan didapat dari pemenuhan tiga kebutuhan utama manusia, yakni; tidur, makan dan sex. Tidur yang nyenyak, makan yang enak dan ehm.. sex yang hebat. Ketika seorang manusia tidak bisa mendapatkan ketiga hal ini, maka dia sakit.
Ketiga hal ini memang terlihat sederhana, padahal sebenarnya sangat rumit dan tidak berhubungan dengan uang. Tidur nyenyak itu kemewahan tak terbeli. Pernah lihat gelandangan tidur nyenyak di kolong jembatan? Pemandangan menyenangkan di siang hari, bukan? Padahal banyak konglomerat sulit tidur di malam hari di atas tempat tidur mewahnya karena ketakutan hartanya diambil orang. Atau, tak perlu jauh-jauh lah, berapa banyak dari kita mengklaim terkena insomnia, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah sulit tidur karena sedang resah baru saja diputuskan pacar. Saya pernah tidak tidur dua hari dua malam karena resah perihal thesis yang kunjung kelar, mungkinkah ini rasanya menjadi Edward Cullen?
Makan enak juga tidak berhubungan dengan uang, walau seringnya memang kalau mau makan enak ya harus dibayar pake uang. Tapi sebenarnya ini lebih kepada persoalan menyederhanakan selera, ketika perut lapar bukankah apapun terasa enak? Nasi pun jadi terasa sangat manis dan kita baru sadar betapa nasi itu mengandung gula yang sangat tinggi dan berbahaya bagi orang yang menderita diabetes. Ok, mulai random.
Terakhir, sex. Ini bisa diterjemahkan secara luas. Mulai dari sekadar ciuman hangat atau permainan ranjang yang mematikan, alah. Haha. Whatever you decide, tidak bisa dipungkiri, every human being needs it. Kebahagiaan berada di ranah abstrak wilayah rasa, ketika semua kosakata bahkan sudah tak sanggup lagi menggambarkan dalam bahasa dan mungkin, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mencari seorang teman, atau pacar, atau keluarga, lalu memeluk dan berkata, "Halo.. bisa tolong saya sebentar? Saya sedang bahagia."
Yah, begitu saja.
Jadi, kalau dia bukan benda mati, makhluk semacam apakah itu bahagia?
...