Saturday, September 15, 2012

di petak sembilan bagian dua


Setelah tertunda sekian lama, akhirnya saya berhasil juga menyambangi kedai es kopi Tak Kie di Gang Gloria, Petak Sembilan. Menjajal Gang Gloria bagian pertama lihat disini ya. Saya cuma mencoba es kopinya. Teman saya, Sandri, memesan es lidah buaya, dan yang bikin saya penasaran sama tempat ini pun memang cuma kopinya. Walaupun begitu tempat ini menjual berbagai macam makanan, seperti bakmi, bubur, hingga nasi tim. Sayangnya, semua masakannya diolah pakai si binatang berkepala empat yang jalannya suka nunduk, jadi terpaksa saya skip deh. Hehe..

Mungkin karena saya terlalu bersemangat clingak-clinguk di kedainya sambil foto-foto, si pemilik Tak Kie, Koh Latief jadi ikut duduk di meja kami dan mengajak ngobrol panjang lebar. Orangnya baik dan suka curhat. Haha. Kami bicara tentang segala rupa, mulai dari curhatnya soal nama kedai kopinya yang tidak mau diganti pasca Soeharto naik jadi presiden, soal rasa kopi Starbucks yang menurut dia sangat 'berantakan', soal rasa kopi instan yang katanya memakai terlalu banyak beverage essence, soal pilkada Jakarta, sampai tips and trick cara membuat mie dari bambu, cara membersihkan daging babi supaya steril -__- hingga bagaimana cara memasak swike supaya dagingnya tidak hancur.

Saya suka kopinya, tidak terlalu manis, aroma dan rasanya juga sangat kuat. Segelas es kopi susu dibanderol Rp. 10.000,- "Sekarang sih enak yah, saya ga pernah pasang iklan, tapi banyak yang tahu Tak Kie dari internet," tuturnya. Biji kopinya diambil dari biji kopi Lampung, ramuannya didapatkan dari resep turun-temurun. "Tak kie itu artinya bijaksana dalam bahasa Mandarin," katanya. Usaha kedai kopi ini ternyata sudah berjalan sejak tahun 1927. Pasca G30S/PKI, plang kedai kopi Tak Kie sengaja disembunyikan, pokoknya dia bersikeras tidak mau nama kedai kopinya diubah menjadi bahasa Indonesia. Kalau ada ras di dunia yang sangat kuat identitasnya dan paling sulit dikenai doktrin asimilasi, ya ras Cina juaranya. Dibelahan dunia manapun, ketika ada ras Cina yang menetap, maka dia akan segera merapatkan barisan, membentuk lingkaran, dan lahirlah Pecinan. Haha.

 "Dulu Pak Bondan suruh saya suplai bakmi untuk warung kopinya, tapi saya ga mau. Soalnya dia mintanya ga pake babi, rasanya kan jadi ga enak," ceritanya panjang lebar. Selain mengurus kedainya, Koh Latief juga sibuk jadi suhu barongsai. "Saya ga suka sama pengamen barongsai, seenak-enaknya aja main-mainin barongsai buat cari uang," katanya sambil memperlihatkan fotonya semasa muda dan menjadi pemain barongsai. Hasil oceh-mengoceh dengan Koh Latief, kami jadi ditawari kue hasil bikinan dia, namanya kue Maco. Semacam onde-onde tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar dan lembut, dalamnya berisi kacang. "Yang ini ga pake babi kok. Muslim kan? Assalamualikum.." katanya sambil tersenyum simpul. Hahaha. Kamsiah ya, Koh Latief.



...

4 comments:

  1. WOW tantee aku mau coba es kopinyaa! *eh, tapi nanti kalo aku uda gedean dikit:))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiiii audrya, si bayi yang seperti ulat bulu, kamu kecil-kecil udah ngiler es kopi yaa :))))

      Delete
  2. Halo Galuh...
    thanks mmpir blog saya...
    Saya suka tulisan & foto kamu di artikel ini...
    pengen kesana :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haloo juga, foto-fotonya di kalifadani bagus bagus :)

      Delete