Barisan huruf arab itu tak terlalu kupahami, maka kutuliskan saja apa yang bisa kumengerti. Untuk dia, yang maha sederhana, bersedia dicinta dengan rayuan tanpa kata, yang selalu mengada meski acap terlupa. Untuk dia yang tak perlu diberi aksara dengan kapital, sosokmu melebihi penanda sebuah huruf besar di awal kata. Untuk dia, yang selalu menyambutku di ujung alinea, penutup di setiap pembuka
hingga lembar daftar pustaka. Di langit yang sama atau langit ke tiga puluh lima, terserahlah, tak ada bedanya. Untuk dia, yang begitu rapi, begitu mudah untuk dipahami, dihayati, untuk dicintai.
Nalarku
mengawang. Gamang. Tersesat di ratusan gugus galaksi persepsi yang penuh imajinasi, aku hilang. Aku lelah, sayang kepalaku gentayangan, mencari malam, mencari tenang, aku ingin perhentian. Bosan mendengar ocehan para bajingan yang dicabik serampangan, telingaku pengang. Delusi sempurna yang perlahan menghilang tertelan air comberan. Berjalan, perlahan, mencari landasan, membangun tumpuan untuk bersiap terbang. Katamu, hidup adalah berumah pada sebuah perjalanan pulang. Sebuah pembelajaran. Lalu dimana harus kutemui haluan kesayangan?
...
Tuesday, October 30, 2012
Thursday, October 18, 2012
so, run (for your life)
Saya suka lari, kamu?
Kalau
orang sering mengatakan istilah 'lari dari kenyataan', saya lah yang
paling sering menerjemahkan (sekaligus mempraktikannya) secara harafiah.
Setiap saya sedang kesal, bermasalah, sedih, saya lebih suka lari untuk
melupakan masalah tersebut. Bisa di treadmill, di trek lari outdoor,
atau di komplek perumahan saya, dimana saja lah yang penting pakai
sepatu lari. Lari buat saya seperti memiliki sensasi tersendiri. Seperti
hari ini, ketika saya sedang luar biasa kecewa pada diri saya sendiri.
Hari ini seharusnya jadwal saya latihan, tapi saya tidak berminat
memegang stick hockey, saya cuma kepingin lari. Lari. Lari. Titik.
Maka
berlarilah saya. Dua kali lipat lebih lama dari jarak yang biasa. Satu
set, lalu dua set. Saya cuma pingin dengar suara itu. Cukup itu saja.
Tapi sampai set kedua selesai, suara itu masih belum datang juga.
Akhirnya saya putuskan memulai set ketiga. Putaran pertama, putaran
kedua, mata ini mulai terasa berkunang-kunang. Saya kelelahan, tapi saya
masih kepingin lari. Otot kaki saya mengencang, tapi saya bersikukuh,
otot saya masih kuat. Nafas saya mulai memburu. Putaran keempat. Lalu
putaran kelima. Saya semakin menambah kecepatan kaki saya. Sprint!
Keringat
menetes deras dari bagian atas dahi. Punggung saya basah, baju saya
kuyup bersimbah. Telapak kaki saya terasa melayang di udara seiring
setiap hentakan kaki saya di astro turf lapangan Senayan. Putaran kelima
di set ketiga akhirnya saya berhenti. Menyerah. It's finish. Saya
berjalan pelan. Merasakan aliran darah di kepala mengalir sangat deras,
dada saya terasa sesak, nafas saya habis sudah. Lalu datanglah suara
yang ditunggu, suara itu.
Dugdug, dugdug, dugdug.
Suara jantung yang begitu kuat berdetak di dada saya yang sesak. Terasa menyenangkan sekaligus melegakan. Mengalahkan segala kelelahan. Denyut itu merajai seluruh tubuh, bergetar di sekujur pembuluh darah dan nadi saya, mulai dari telapak kaki hingga ujung kepala. Saya menengadah ke atas, mencari tambahan pasokan udara sembari menikmati bunyi yang semakin kuat dengan nafas megap-megap.
Tepat saat raga terasa melayang kelelahan, mengambang di titik yang terlemah, suara itu justru semakin bertenaga. Bunyinya seperti menyanyikan senandung resistan. Menolak melemah, mencekal kepala, memaksa mata kembali terbuka, betapa perkasa. Disanalah pusat semesta manusia yang sesungguhnya. Berhentilah sejenak, dengarlah ketukan sebuah pergolakan seiring segala letih dan lelah. Bahana lantunan pertahanan, tuturan kekuatan, afirmasi sebuah denyut kehidupan. Bahwa di dalam diri setiap manusia, ada sebuah mesin penggerak yang lebih kuat dari sekadar perkiraan. And if we think about it, isn't that what really matter the most?
You are alive. That's it.
...
Suara jantung yang begitu kuat berdetak di dada saya yang sesak. Terasa menyenangkan sekaligus melegakan. Mengalahkan segala kelelahan. Denyut itu merajai seluruh tubuh, bergetar di sekujur pembuluh darah dan nadi saya, mulai dari telapak kaki hingga ujung kepala. Saya menengadah ke atas, mencari tambahan pasokan udara sembari menikmati bunyi yang semakin kuat dengan nafas megap-megap.
Tepat saat raga terasa melayang kelelahan, mengambang di titik yang terlemah, suara itu justru semakin bertenaga. Bunyinya seperti menyanyikan senandung resistan. Menolak melemah, mencekal kepala, memaksa mata kembali terbuka, betapa perkasa. Disanalah pusat semesta manusia yang sesungguhnya. Berhentilah sejenak, dengarlah ketukan sebuah pergolakan seiring segala letih dan lelah. Bahana lantunan pertahanan, tuturan kekuatan, afirmasi sebuah denyut kehidupan. Bahwa di dalam diri setiap manusia, ada sebuah mesin penggerak yang lebih kuat dari sekadar perkiraan. And if we think about it, isn't that what really matter the most?
You are alive. That's it.
...
Wednesday, October 10, 2012
fabula manusia kota
Apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh maket-maket megah itu, Pak Menteri? Adakah sebuah cetakan biru, bangunan arsitektur yang begitu teratur dan terukur? Para manusia kota sudah bersorak ramai dari jarak dua meter. Mungkin mereka mencium bau uang, kau tahu? Sebagian lagi mengernyit, mencium bau hanyir ikan yang disembunyikan rapat dalam habung raksasa berlumur gabah.
Dalam dua puluh tahun ke depan, negeri ini akan menjalani operasi plastik besar-besaran. Mulai dari jembatan hingga pelabuhan, untuk sebuah wajah yang lebih cantik dari sekarang. Demi sebuah kecantikan artifisial, padahal yang namanya artifisial tak pernah baik untuk kesehatan. Negeri ini akan didandani sesuai kehendak pasar atas nama investasi. Masyarakat girang, siapa yang tak suka dengan wajah yang lebih rupawan? Padahal kita sedang bersiap untuk melacurkan diri. Berharap naik pangkat dari tuna susila level kelas teri.
Sejak didorong dengan keras oleh seorang laki-laki di antrian TransJakarta, saya sudah tahu; mental dan moral ternyata tak datang dari tuhan, apalagi dari setan. Mereka datang dari pemahaman, sebuah proses saling pengertian, bahwa manusia lainnya ada, hidup, dan saling berpautan. Demokrasi, teknologi, percepatan informasi untuk masyarakat Indonesia layaknya sebuah kondom yang diberikan pada anak balita, bahkan penisnya saja belum bisa mengeluarkan sperma. Percuma.
Lima ratus kilometer dari hiruk pikuk kota, sekelompok manusia desa bersenandung. Senang. Tertawa. Di jalan yang tak kenal aspal mereka berjalan beriringan, sembahyang lalu bercengkerama. Semua ingin pergi ke kota. Di kota ada bahagia. Konon, masih konon. Mereka melihatnya di televisi, foto-foto, di bis-bis besar yang datang dengan membawa berjuta cerita. Program-program percepatan kemajuan desa terpampang angkuh dalam folder-folder hitam raksasa. Penanda masif senarai ketamakan manusia kota yang berbekal segudang pengalaman urban. Tingkat intelektualitas yang rendah harus diberantas, kata mereka. Betapa stereotipikal.
Asal kau tahu, sebodoh-bodohnya orang desa, tetap saja mereka bahagia tanpa perlu mendengar ocehan Mario Teguh. Omong-omong, kalau kau masih perlu baca buku-buku motivasi itu, kemana kitab sucimu? Buat ganjel pintu?
...
Dalam dua puluh tahun ke depan, negeri ini akan menjalani operasi plastik besar-besaran. Mulai dari jembatan hingga pelabuhan, untuk sebuah wajah yang lebih cantik dari sekarang. Demi sebuah kecantikan artifisial, padahal yang namanya artifisial tak pernah baik untuk kesehatan. Negeri ini akan didandani sesuai kehendak pasar atas nama investasi. Masyarakat girang, siapa yang tak suka dengan wajah yang lebih rupawan? Padahal kita sedang bersiap untuk melacurkan diri. Berharap naik pangkat dari tuna susila level kelas teri.
Sejak didorong dengan keras oleh seorang laki-laki di antrian TransJakarta, saya sudah tahu; mental dan moral ternyata tak datang dari tuhan, apalagi dari setan. Mereka datang dari pemahaman, sebuah proses saling pengertian, bahwa manusia lainnya ada, hidup, dan saling berpautan. Demokrasi, teknologi, percepatan informasi untuk masyarakat Indonesia layaknya sebuah kondom yang diberikan pada anak balita, bahkan penisnya saja belum bisa mengeluarkan sperma. Percuma.
Lima ratus kilometer dari hiruk pikuk kota, sekelompok manusia desa bersenandung. Senang. Tertawa. Di jalan yang tak kenal aspal mereka berjalan beriringan, sembahyang lalu bercengkerama. Semua ingin pergi ke kota. Di kota ada bahagia. Konon, masih konon. Mereka melihatnya di televisi, foto-foto, di bis-bis besar yang datang dengan membawa berjuta cerita. Program-program percepatan kemajuan desa terpampang angkuh dalam folder-folder hitam raksasa. Penanda masif senarai ketamakan manusia kota yang berbekal segudang pengalaman urban. Tingkat intelektualitas yang rendah harus diberantas, kata mereka. Betapa stereotipikal.
Asal kau tahu, sebodoh-bodohnya orang desa, tetap saja mereka bahagia tanpa perlu mendengar ocehan Mario Teguh. Omong-omong, kalau kau masih perlu baca buku-buku motivasi itu, kemana kitab sucimu? Buat ganjel pintu?
...
Friday, October 5, 2012
to kill a mockingbird
Kembali ke Alabama 1930. Akhir-akhir ini saya merasa sedang bertransformasi menjadi Scout Finch. Menakar, mengamati, menganalisis, mencoba mengerti dari berbagai sudut persepsi. Media massa gempar, para jurnalis banjir bahan tulisan, seorang anak paruh baya membunuh dalam sebuah tawuran. Di jejaring sosial berlambang burung dara, batin saya termanggu. Sebuah percakapan terlintas di linimasa saya siang itu. "Dalam tawuran, there's no turning back, bro. Kalo sudah di depan, sikat semua!" Meski dia tak sedang orasi dengan pengeras suara, saya bisa merasakan aksaranya begitu membabi-buta. Lagaknya sudah seperti perdana menteri Netanyahu dengan jargon favoritnya; dibunuh atau membunuh!
Istilah tawuran tak asing bagi saya. Peristiwa gerombolan putih abu yang berlari kalang kabut kesana kesini dan berkelahi sudah sering saya lihat di televisi. Tak ikut berkelahi artinya banci, dan banci -- lelaki yang ingin menjadi perempuan -- dianggap sebagai salah satu bentuk penghinaan kasta tertinggi terhadap harga diri lelaki. Tololnya, kategori banci justru dilabeli oleh manusia yang senang berkelahi secara kolektif, rame-rame, bareng-bareng. Haha. Orang yang aneh. Yang lebih mengherankan lagi (buat saya) adalah prosesi pembunuhannya. Gila, bukan sekedar tonjok-tonjokan, tapi si inisial D juga cukup bernyali untuk menghabisi nyawa seseorang.
Membunuh orang bukan perkara gampang. Ada sepasang tangan, mata, kaki, logika dan intuisi yang akan melawan. Setiap manusia punya gelombang naluri bertahan hidup yang tak mudah ditaklukan. Berlagak tuhan dan mengakhiri hidup seseorang butuh banyak keberanian. Anak ini bahkan usianya belum lagi menginjak 20. Seorang tentara konon harus dicuci otak supaya bisa berlaku sadis ketika menghadapi musuh. Lalu, dimana bocah ini bisa mengupgrade nyalinya jadi sedemikian besar sampai berani membunuh?
Miriam Budiarjo sekali waktu pernah menulis; dalam kelompok, seseorang akan cenderung kehilangan identitasnya. Dalam kelompok pula, opini akan dibentuk lalu munculah para pemain monopoli opini yang mau tak mau harus diikuti. Berani melanggar aturan? Hukumannya bully! Sudahlah, akui saja, mental bhinneka kita nol besar. Sama rata, sama rasa, sama kepala, atau diasingkan sebagai hadiahnya. Dalam kelompok, seorang individu akan mengalami masalah dalam mekanisme pengendalian moral yang berujung pada kerusakan tatanan sosial yang sifatnya ekstrem dan tidak rasional.
Sadis, singkatnya. Mungkin perkara bunuh-membunuh hanya salah satu sub variabel dari ratusan sub-variabel sadis yang lain. Membeli tas seharga sepuluh juta, menurut saya juga sadis. Konspirasi Bakrie, juragan siaran televisi yang terus-terusan menyuguhi pemirsa dengan sinetron tak layak tayang untuk pembodohan mental dalam alam bawah sadar juga sadis. Hmm, entahlah. Atau bully secara verbal di jejaring sosial? Yang jelas, orang-orang yang mengaku terheran-heran oleh perbuatan si inisial D di jejaring sosial adalah orang-orang yang sama pula yang menggugat pasukan alay, yang mengaku atheis lalu menertawakan mereka yang sembahyang, yang mengaku liberal lalu mengejek yang perawan. Seriously, have we lost our sensitivity?
Saya kira kita semua sudah sepakat hidup dengan falsafah pancasila, nyatanya yang kita lakukan hanya mempraktekan hukum rimba dan membangun kerajaan binatang melata. Saya, satu dari sedikit yang masih saja percaya. Alangkah bodohnya.
Does this look familliar? Source: Setneg |
"Shoot all the blue jays you want, if you can hit ‘em, but remember it is a sin to kill a mockingbird."
...
Wednesday, October 3, 2012
catatan harian nomor satu satu tiga
Butuh sebuah jeda panjang untuk memahami leluconmu.
Kita semua tahu, sejak kau suruh Ibrahim menyembelih Ismail -- lalu dengan tiba-tiba kau menggantinya dengan seekor kambing -- terhenyak, kita semua sedang diperkenalkan dengan sifat aslimu, si maha melucu. Kepala ini kadang terasa benar bebal, memikirkan dimana sebetulnya letak kelucuanmu. Oh Tuhan, ayolah aku sedang tidak ingin bercanda. Sekeras apapun berpikir, ternyata memang kadar humor kita berentang terlalu panjang. Butuh dua kuintal kecerdasan untuk mengumpulkan logika dan berpikir dengan nalar yang matang. Mencoba menertawai leluconmu adalah sebuah proses pengalaman pemahaman. Sebuah reaksi parade perubahan yang dimaknai oleh para bedebah, bahwa kita, manusia, hanyalah sekumpulan neurosis rasa bersalah. Setahun yang lalu, hari yang penuh sumpah serapah, baru hari ini saya mampu tertawa, memahami unsur komedi dalam sebuah kisah yang pernah membuat kepala ini gelisah.
Matahari sedang asyik berdandan, bersiap melacurkan diri pada malam, bibirnya bergincu tebal. Dibawahnya, manusia yang tampak kerdil sedang makan beling. Nafasnya memburu, berbau sampah di Bantar Gebang. Kelaparan, kecapaian. Tamaknya letih, memuja, bersungut lalu berdoa. Mencoba menangkap senja dan menyembunyikannya dalam kotak kaca. Kenapa hidup terasa tak lucu lagi, padahal ini bukan jelang mentruasi? Semakin dewasa, nyatanya manusia malah semakin sering merasa merana. Kenapa, ya? Semua akan terasa lucu pada waktunya. Tertawalah, meski sedikit saja.
...
Kita semua tahu, sejak kau suruh Ibrahim menyembelih Ismail -- lalu dengan tiba-tiba kau menggantinya dengan seekor kambing -- terhenyak, kita semua sedang diperkenalkan dengan sifat aslimu, si maha melucu. Kepala ini kadang terasa benar bebal, memikirkan dimana sebetulnya letak kelucuanmu. Oh Tuhan, ayolah aku sedang tidak ingin bercanda. Sekeras apapun berpikir, ternyata memang kadar humor kita berentang terlalu panjang. Butuh dua kuintal kecerdasan untuk mengumpulkan logika dan berpikir dengan nalar yang matang. Mencoba menertawai leluconmu adalah sebuah proses pengalaman pemahaman. Sebuah reaksi parade perubahan yang dimaknai oleh para bedebah, bahwa kita, manusia, hanyalah sekumpulan neurosis rasa bersalah. Setahun yang lalu, hari yang penuh sumpah serapah, baru hari ini saya mampu tertawa, memahami unsur komedi dalam sebuah kisah yang pernah membuat kepala ini gelisah.
Matahari sedang asyik berdandan, bersiap melacurkan diri pada malam, bibirnya bergincu tebal. Dibawahnya, manusia yang tampak kerdil sedang makan beling. Nafasnya memburu, berbau sampah di Bantar Gebang. Kelaparan, kecapaian. Tamaknya letih, memuja, bersungut lalu berdoa. Mencoba menangkap senja dan menyembunyikannya dalam kotak kaca. Kenapa hidup terasa tak lucu lagi, padahal ini bukan jelang mentruasi? Semakin dewasa, nyatanya manusia malah semakin sering merasa merana. Kenapa, ya? Semua akan terasa lucu pada waktunya. Tertawalah, meski sedikit saja.
...
Monday, October 1, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)