Jumat di akhir Maret yang sudah lama aku tunggu. Aku berjalan terburu masih dengan baju kerjaku, dress batik coklat setengah hitam. Kugendong carrierku, berpasangan dengan sepasang sandal jepit merah jambu yang baru kusikat bersih semalam. Rupaku berantakan. Duduk mengangkang dengan rok span di kursi belakang motor Supra milik abang ojek yang kupaksa kebut-kebutan menuju tempat pertemuan, betapa memalukan. Perjalanan panjang Jakarta-Wonosobo yang memakan waktu hampir 16 jam, sungguh mati pantatku keram.
Kurnia Jaya AKAP. Pukul sepuluh malam dan hujan deras yang membasahi Kampung Rambutan. Cuaca benar-benar kacau -- atau kita yang kacau? Aku duduk di kursi berbaris tiga dalam bus ekonomi tanpa pendingin udara. Pria separuh baya duduk di sebelahku, kami berbicara layaknya teman lama, satu hal yang sudah jarang kulakukan di Jakarta. Interaksi berbudaya. Bus kelas ekonomi dengan segala kekacauan dan hiruk pikuknya selalu berhasil memaksaku kembali menjadi manusia. Untuk saling sapa, bicara, atau minimal mengenal siapa namanya. Gap itu luntur seketika, untuk beberapa jam ke depan, kami akan bersama-sama menggantungkan nasib ke pengemudi di depan sana. Bon voyage!