Tuesday, July 12, 2016

kenapa sih harus menikah?

The word 'love' in the Quran appears around 90 times. Anehnya, ga ada satu pun kalimat yang mendeskripsikan apa itu cinta, tapi di setiap ada kata 'cinta' keluar, selalu disambung dengan penjelasan konsekuensi mengenai 'cinta', yakni: to commit. Islam talks about commitment, if you truly love, then you commit, if you do not commit, then your claim of love is not real. - Sheikh Yassir Fazaga


Foto milik Mba Anda Marie 

Rasul katanya pernah bilang, pintu berkah dari langit itu akan terbuka dalam empat situasi; pertama, saat turun hujan, kedua, saat pintu ka'bah dibuka which is ini kayaknya rare moment banget ya? Secara kalau sekarang ka'bah hanya bisa dibuka untuk dimasuki oleh golongan-golongan tertentu (baca: pejabat). Tapi konon jaman dahulu, pintu ka'bah itu dibuka dua kali dalam seminggu dan orang-orang bisa bebas masuk dan shalat di dalam situ. Tapi lagi, entah ka'bah yang mana pula yang dimaksud, jangan-jangan maksudnya adalah baitul makmur, ka'bahnya para malaikat di langit. *mikir* Anyway.. yang ketiga adalah saat seorang anak memandangi orangtuanya dengan penuh kasih. Ini kayanya saya sering dapet, deh. Memandangi dengan kasihan lebih tepatnya, kikikikikk.. Kasian bapak saya batuk mulu sekarang, hiks. Dan yang terakhir, adalah saat dua orang menikah..

Tapi itu kan konon. *facepalm*

Kalau dalam pendekatan agama Islam, sudah jelas banget tertulis apa dan bagaimana serta segambreng penjelasan lainnya tentang pernikahan. In short summary: nikah itu ibadah. Tapi kak.. kalau gak susah, namanya bukan ibadah. Ya, kan? 

Kadang saya masih suka mikir apa sih perlunya menikah? Betul anjuran agama, tapi kenapa dianjurkan? Betul ladang pahala, menyempurnakan agama, tapi kenapa? Silakan googling deh. Udah banyak banget ayat dan hadits yang menjelaskan. Mulai dari memiliki keturunan, menjaga kemaluan, sampai memanjangkan silaturahmi. Terlepas dari budaya resepsi di Indonesia yang mencekik dompet, menikah menurut saya tetap tidak sesederhana itu. Its a lifetime commitment, bro! Seperti menandatangani perjanjian kerja sampai mati tanpa offering salary dan tunjangan yang jelas. The stage of 'lu lagi lu lagi' at its highest and longest level. Ehehehe.. 

Secara teori, manusia memang udah kudunya hidup berkoloni. Si homo socius yang baperan dan ga bisa hidup sendiri. Apalagi kalau ngobrol ama orang psikologi yang langsung maen lempar teori hierarki kebutuhan Maslow. 80% aspek di teori itu ada dalam kehidupan pernikahan. Tapi.. selain sebagai seorang homo socius, jangan lupa juga kalau manusia adalah homo homini lupus. Suami tersayang yang kayanya sekarang cinta banget ama kita itu bisa jadi suatu saat nanti akan jadi monster mengerikan yang pengen kita dorongin ke tebing. *eh, kok gitu ya? 


Nih teorinya Bang Maslow. Hampir semuanya bisa dicreate dari kehidupan pernikahan. 

Buat saya yang sekian puluh tahun hidup tanpa terikat komitmen selain komitmen ecek-ecek macam 'jadian-putus-jadian-putus' atau 'signing-resigning-kalau ga betah ya cabut' dari kerjaan -- dalam bayangan saya berikut ini adalah masalah-masalah yang muncul di benak saya:

1. Tawaran pekerjaan menggiurkan yang harus saya tolak. Karena pekerjaannya mengharuskan saya sering bepergian ke luar kota selama berhari-hari. Kalau masih single sih ga masalah, kalau udah nikah, apakabarnya suami gw tuh ya? Jangan-jangan pas saya pulang dia udah berubah jadi gondrong, brewokan, berbulu lebat ga jelas gitu? Tar dulu, ini kawinnya ama gorila apa anjing pudel, sih? Hufftt (1) 

2. Sooner or later, harus beli/ngontrak rumah yang lebih besar dan tinggal jauh dari kantor. Beli rumah ini sebenarnya sudah ada dalam wish list saya, tapi yang jelas tidak tahun ini atau tahun depan. Permasalahannya, saya malas tinggal jauh dari kantor hahaha. Sementara kalau beli rumah pasti kan mampunya beli di pinggiran Jakarta yee, kan? (Nasib kelas menengah ngehe). Sementara kantor saya saat ini lokasinya cuma tinggal salto dikit dari bundaran HI. Solusinya ya, tinggal di apartemen. Tapi entah kenapa landed house somehow lebih menggiurkan. Hufftt (2) 

3. Please jangan ingatkan aku berapa duit tabungan yang tergerus untuk sumbang biaya resepsi yang sebenarnya bisa buat piknik barang dua tiga minggu di Nepal, nangkring di Annapurna, lalu lanjut road trip ke Iran. Hufftt (3) 

4. I am gonna have to spare some space in the bed with the same person over and over again for the rest of my life. Does that sound scarry? Nope. Tapi gimana kalau dia lagi resek, terus misalnya nih, tiap lima menit dia kentut dan bau banget, terus kalau dia tiba-tiba kena sakit budukan sebadan-badan. *amit-amit* Hufftt (4)


nanti udah ga bisa lagi tidur pose begini 

5. Buat saya, menikah berarti juga bereproduksi. Sampai saat ini, entah pasangan saya becanda apa engga, yang jelas, dia masih berstatus penggemar punya anak banyak. Minimal lima, katanya. Buseet.. berapa pula yang harus disediakan buat sekolahin tu anak lima? Belum kalau pada males males belajarnya, yang satu keterimanya di Trisakti, satu lagi di Unpar, satu lagi di Binus, pokonya ga ada yang keterima di negeri macam UI, Unpad kek, ITB kek, kan ngeri banget (bayarnya). Ibu saya selalu bilang dengan entengnya, "Nanti juga ada rejekinya.." Betuuuul bangeeet. Saya percaya rejeki selalu ada -- tapi ya harus dicari. Masalahnya, kalau butuh rejekinya banyak, ya, nyarinya juga harus extra keras, yeee kan? Aku kaaan lelaaaah... Belum lagi kalau pas udah gede anaknya kok ya nyebelin, susah diatur dan kurang ajar sama emak bapaknya (eh, kok kaya gw, ya..). Astagfirullah.. Tiba-tiba pengen sungkem ama emak bapak. Hufftt (5) 

6. Kadang ada masanya kala PMS menyerang, kerjaan di kantor lagi numpuk, bos lagi resek, dan yang kuinginkan saat itu adalah menyendiri di kamar, ga diganggu siapa-siapa. Tapi namanya kalo orang nikah, bisa tiba-tiba aja suami dateng, "Aduuuhh masuk angin nih, kerokin dong, trus pijitin ya, trus sekalian bikinin sop iga, lagi pengen yang anget-anget nih." kaaaannnn ...... (isi sendiri dengan kata makian pilihan kalian). Tapi wajibnya jadi istri ya kan harus mau aja tuh disuruh suami begitu. Hufftt (6) 

7. Lupakan juga kebiasaan impulsif maen pesen tiket besok cabut cuma buat naek gunung. Lupakan, ya, lupakan. Hufftt (7) 

Banyak kan huffttnya? 

Tapi di h minus satu bulan sebelum pernikahan, saya ngobrol sama seorang teman yang sudah menikah dan punya anak satu. Teman saya ini kayanya bisa dibilang berubah 180 derajat, lah. Saya kenal dia dari jaman kuliah. Tau banget lah bandel dan brengseknya kaya apa. Suprisingly setelah menikah dan punya anak, dia berubah. "I am becoming less ambitious," katanya. Teman saya ini dulu lebih riweuh dari saya. Selain pencemas dan perfeksionis, dia juga ga suka anak kecil. Sekarang? Dia lebih kalem, meski masih sering cemas soal ini dan itu, keibuan, dan sayang sekali sama anaknya. Dia juga jadi lebih dewasa, rajin puasa, endesbrey endesbrey. Jadi mungkin setelah saya pikir-pikir kenapa agama saya bilang harus menikah? karena menikah akan membawa kebaikan buat saya. 

Singkatnya secara teori lagi, menikah adalah salah satu sarana paling mudah dan paling efektif untuk kontrol diri. To adjust my behavior, to control my anger, to diminish my temper, well, i have someone stuck with me now, we have to work these things out, otherwise we're screwed. Entah saya akan berubah jadi seperti apa? Tapi mestinya sih a better version of Galuh when she's still single, idealnya. 

Tapi emang kalau mau berubah harus banget menikah, ya? Terlepas dari aspek religi, sosial dan hukum, I repeat, menikah itu a lifetime commitment, a lifetime commitment itu lamaaaa, lho! Mungkin, jawaban yang sama untuk pertanyaan kenapa kita harus puasa sebulan? Sebulan itu lama, lhooo. Kenapa ga satu atau dua hari aja? Ini mah udah sebulan penuh kudu puasa, eh, taun depannya harus diulang lagi pula. Di agama lain aja kayanya ga ada deh yang nyuruh puasa selama itu.

Coz you know what? Maybe, thats simply just a gentle reminder, that in this harsh and also funny world, good things don't happen overnight. They're never happen in one night. Everything needs a process and it takes time. So, you better buckle up, the real adventure calls, and let's make way for a new tomorrow, goodbye single lyfeeee, i bid you a very fond farewell, adieu!

Best of luck, Galuh. Xoxo. 

***

7 comments:

  1. Sebagai anak tengah yang kerap terlupakan. Please luh, pake KB ya, quality over quantity.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ciyeee ucuy kurang perhatian ya cuy :-P

      Delete
    2. Ho'oh...4 kids and both are working parent. Andai dulu ada gadget, pasti gue udeh sedasyat awkarin syalala.

      Delete
  2. kak kapan posting lagi ? so inpsiring me ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehee thanks for reading :D lagi susah nulis blog nih, waktunya terbatas huhu..

      Delete
  3. Ini inspiring banget teeeehh..
    Samaan kita anaknya gunung banget, aku kalo ada tanggal merah sama uang dikit langsung searching tiket. Dan kadang masih suka ga rela kalo udah nikah nanti (6bulan lagi) gabisa sebebas dulu main srabatsrebet rencanain ngetrip. Hufft

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hueheueheee.. Thats one of the hardest things. Tapii ya harus bisa! Goodluckk yesss hihihi :D

      Delete